Welcome To Blog Muhammad Imron 15113986 Universitas Gunadarma

Rabu, 16 Maret 2016

Rangkuman Novel 5 cm.



Judul Buku                   : 5 cm
ISBN                             : 9797591514
Penulis                         : Donny Dhirgantoro
Penerbit                      : PT Grasindo
Terbit Tahun                : 2007
Halaman                     : 381 halaman

            Jadi kali ini saya akan meringkas Novel yang saya sedang baca jadi saya akan menguploadnya sebagian-sebagian.
Novel ini menceritakan tentang persahabatan 5 orang manusia yang telah menjalin persahabatan selama tujuh tahun. Mereka selalu bersama-sama kemanapun mereka pergi dan beraktivitas, sampai pada suatu ketika mereka sampai pada titik jenuh dengan aktivitas yang mereka lakukan. Akhirnya mereka menemukan sebuah ide untuk tidak bertemu dan berkomunikasi selama tiga bulan. Dan kelima sahabat tersebut memutuskan untuk melepas rindu dengan mendaki puncak gunung Mahameru. Adapun tokoh atau penokohan dalam novel ini adalah:

Pengenalan Tokoh
Arial, Dia adalah Sosok yang paling ganteng diantara mereka, karena badannya besar, kulitnya item, Suka basket dan olahraga. Kalo kemana-mana selalu pake sepatu basket, pokoknya rapi dan sporty.

Riani, Wanita berkacamata, cantik, cerdas dan seorang N-ACH sejati. Dia adalah satu-satunya wanita diantara kelima sahabat ini. Selalu dominan dimana-mana, cerewet dan nggak mau kalah sama siapapun juga. Riani seorang aktivis kampus, siapa aja bisa didebatnya soalnya dia banyak baca dan banyak belajar. Dia mempunyai cita-cita bekerja di stasiun TV.

 Zafran, Seorang penyair yang selalu bimbang dan jago bikin puisi. Dia juga seorang vokali sebuah band. Badannya kurus, sekurus kapur tulis, potongan rambut gondrong samping dan depan. Zafran juga percaya kalo dia sebenarnya punya keturunan darah Achilles (sehabis nonton film Brad Pitt dan Eric Bana, Troy). Dan dia juga naksir sama Arinda atau Dinda yang merupakan adik dari Arial.

Ian, Badannya gemuk kepalanya plontos. Ian adalah penggila bola, apa aja tentang bola dia tahu dan kebanyakan ngabisin waktunya tentang bola. Suka main Championship Manager atau Winning eleven PS2. Baju bergambar kartun, celana jins, sama Adidas gazelle buluk adalah kostum sehari-harinya. 

Genta, “The Leader”. Genta adalah pemimpin di geng ini, karena keempat temannya paling nurut sama Genta. Dia berkacamata dan selalu pakai baju yang ada, pokoknya Genta adalah orang yang nggak macem-macem, tapi pikirannya penuh macem-macem. Dia  juga mengagumi Riani.

Bagian Pertama

   Pada suatu malam lima orang ini berada sedang berada di dalam mobil, merekadalam perjalanan pulang setelah baru saja makan bubur ayam di Cikini. Lalu dalam perjalanan tiba-tiba Ian berkata “Wooi mau kemana lagi nih? Capek nih gue nyetir...muter-muter nggak karuan”. Riani menjawab “Nonton aja yuk!”.. “Nonton apa? Lagi nggak ada yang bagus...,” Genta males nonton.. “Shrek 2 aja...,” Arial tiba-tiba berkata. “Udah!!!” Keempatnya menjawab serentak. Dari mereka berlima memang hanya Arial yang belum nonton Shrek 2, karena pada saat itu dia sedang sakit tipes sehingga nggak bisa ikut nonton bareng. “Trus mau ngapain dong...? Ke rumah gue lagi?” Tanya Arial. “Setuju!!!” Zafran langsung teriak.
Dari keempat temannya hanya Zafran yang paling seneng kalo kerumah Arial, maklum Zafran dari dulu udah naksir berat sama adiknya Arial yaitu Arinda atau Dinda.
Karena sudah bingung ingin kemana lagi, akhirnya mereka berlima sepakat untuk kerumah Arial. Sebelum kerumah Arial, Riani membujuk teman-temannya untuk patungan beli pizza dan monopoli.
           
              Sesampainya dirumah Arial, mereka langsung masuk ruang tamu. “Malam, Tante...”.  “Oh malam anak-anak.. mau main disini lagi ya? Untung Tante baru beli singkong keju....”  “Iya, Tante...”  “Seneng deh ketemu kalian lagi”. Lalu Mama Arial tiba-tiba teriak memanggil Arinda, dan seketika Zafran langsung bengong.
Zafran masih bengong dengan sendiri, masih heran kenapa setiap kali ketemu Dinda pasti ada Sountrack Evergreen Love Songs di otaknya, Padahal dia anak band alternatif yang agak anti lagu cengeng. Dan juga masih heran sama senyum Dinda yang menurut dia bisa ngalahin semua bintang sinetron telenovela.
“Alaaa... udah yuk ke atas...,” Ajak Arial. “Yuk!” Riani yang paling semangat, dia males ngeliat Zafran jadi bengong begitu ketemu Dinda.  Akhirnya Arial mengajak teman-temannya ke ruangan atas depan kamarnya yang selama ini mereka sebut sebagai “The Chambers of Secret Sorcerer Stone” Kenapa? Karena semuanya penggemar Harry Potter. Akhirnya mereka semua bermain monopoli disana.
Setelah bermain monopoli dan makan cemilan serta pizza, mereka pun bosen. Mau nonton TV, bosen lagi. Nonton VCD, bosen juga. Cemilan dan pizza udah abis sama Ian, jadi tinggal ngobrol, ngobrol dan ngobrol... nggak jelas.

            Karena mereka sudah bosan akhirnya Arial mengajak pindah ke Secret Garden. Sambil turun tangga Ian pesen ke Arial kalo dia pengen Indomie, dan Arial pun langsung memberikan aba-aba ke pembantunya untuk membuat Indomie. Kalo Ian udah makan Indomie seperti biasa Riani paling suka minta kuahnya, apalagi yang kari ayam. Kemudian mereka pun beranjak ke Secret Garden. Sesampainya di Secret Garden mereka duduk membentuk lingkaran, seperti biasa Riani duduk di sebelah Genta. “Yan sebelum makan lo harus nyanyi dulu...” Arial langsung memberikan gitar yang sudah satu paket dengan teh manis hangat dan Indomie-nya Ian. “Kiss of life-nya Sade, Yan...,” Genta meminta “Jangan, Always-nya Atlantic Star aja...,” imbuh Arial. “Fake plastic Tress-nya Radiohead aja,” Zafran dengan mantap mau berkelam-kelam ria. “Yo’i...,” Riani setuju. 

          Diantara keindahan malam di Secret Garden mereka bernyanyi. Ketika sedang bernyanyi, lagu Fake Plastic Tress mengingatkan mereka pada sifat Ian sebelum bergabung ke dalam geng mereka. Mereka berlima memang sudah menjalin persahabatan sejak bangku SMA, namun diantara mereka berlima Ian merupakan ranger terakhir yang masuk dalam geng “Power Rangers”. Sebelumnya mereka hanya berempat, namun setelah Ian masuk sebagai anggota terkahir geng mereka, akhirnya mereka berlima sepakat memberi nama geng ini dengan sebutan “Power Rangers”. Ian yang dulu adalah Ian yang belum menemukan jati dirinya. Ian yang kadang-kadang cuma ikut nimbrung nongkrong bukanlah Ian yang sekarang. Ian yang dulu adalah orang yang ngga pede sama dirinya sendiri, yang selalu mencoba jadi orang lain, yang selalu memandang orang lain lebih hebat dari dirinya. Namun teman-temannya selalu berusaha mengingatkan Ian agar menjadi diri sendiri. Kalau ingat kejadian itu, Ian menamkannya dengan “Finding Ian”. Dan sekarang Ian menjadi Ian yang apa adanya...

Bagian Kedua

            Masih di Secret Garden, Ian bernyanyi dengan gitarnya menambah suasana hangat malam itu. Sampai akhirnya Indomie Ian datang, dan kalo Ian makan Indomie pasti Riani langsung mengambil mangkok kosong yang udah disiapin pembantunya Arial buat minta kuahnya. Setelah bernyanyi dan bercanda entah untuk keberapa kalinya mereka mengalamiDe javu. Merek merasa bosan karena kalau kemana-mana selalu berlima. “Gue sih nggak pernah bosen sama kalian,” Arial menjawab. “Bukan sama orang-orangnya, tapi sama kita-nya” Zafran mendesis pelan. “Iya nih kita standar-standar aja” Arial nyambung lagi.

            Zafran tiba-tiba berkata, “Plato, seorang filsuf besar pernah bilang bahwa nantinya dalam kehidupannya setiap manusia akan terjebak dalam sebuah gua gelap yang berisi keteraturan kemapanan, dan mereka senang berada di dalamnya. Karena mereka terbuai dengan segala kesenangan disana dengan apa yang telah mereka capai, hingga akhirnya mereka takut keluar dari gua tersebut. Mereka memang bahagia, tetapi diri mereka kosong dan mereka nggak pernah menemukan siapa diri mereka sebenarnya... mereka nggak punya mimpi.”

            “Mungkin sebaiknya kita nggak usah ketemuan dulu,” Genta berkata. “Maksudnya?” Riani menjawab. “Keluar dari gua kita untuk sementara.....,” Zafran melanjutkan. “Gue mau...,” Arial menyambut dengan mantap. “Tapi gue nggak mau kehilangan kalian semua,” Riani berkata pelan. “Ya enggak-lah,”.. “Kita keluar sebentar aja, bermimpi lagi masing-masing tentang kita, nanti pas ketemu lagi, pasti lain lagi, lain ceritanya, lain lagi orangnya,” kata Genta. “Gue setuju! Gue mau PDKT lagi sama skripsi yang udah lama gue putusin” semangat Ian. “Untuk berapa lama?” Pertanyaan yang susah ini bikin bingung semuanya. “Enam bulan!” usul Zafran. “Enggak mau!” Riani langsung ngambek. “Tiga bulan aja,” tiba-tiba Ian nyeletuk. “Setuju!” Arial langsung setuju. Genta mengangguk. Zafran pun setuju.

            “Ya udah, kalian jahat,” Riani menjawab dengan tegar. “Yee... tadi katanya mau, sekarang bilang jahat, yang jahat disini kan nggak ada, kita kan ‘Power Rangers”–pembela kebenaran,” Zafran mencoba bercanda dengan Riani. Akhirnya Riani pun tersenyum manis sekali. “Tiga bulan dari sekarang kapan yah...tanggal berapa?”  “14 Agustus,” Arial menjawab. Kita ketemu lagi tanggal 14 Agustus yah...,” Genta meyakinkan teman-temannya. Akhirnya mereka sepakat tidak boleh bertemu dan saling berkomunikasi dalam bentuk apapun selama tiga bulan, sampai tanggal 14 Agustus.

            Selama tiga bulan tidak bertemu mereka berlima mengejar mimpinnya masing-masing yang belum tercapai. Ian berjuang menyelesaikan skripsinya untuk menjadi sarjana, sementara Arial mengejar cintanya dari seorang wanita yang dia kenal di tempat fitness yaitu Indy. Dalam kurun waktu  tiga bulan itu juga mereka menemukan hal baru dan diterpa rasa rindu. Riani yang rindu dengan Genta dan Zafran yang rindu dengan Dinda adik dari Arial.

Sabtu siang menjelang sore..
            Arial terjebak diantara kemacetan pintu tol Cibubur. Lengan kekarnya yang memegang stir keras merekam kepenatan di dalam dirinya. “Rumahnya jauh banget sih...,” batin Arial dalam hati. Akhirnya setelah mobilnya berhasil melewati kpenatan pintu tol Arial pun sampai di rumah Indy. Sudah satu bulan ini Arial memutuskan untuk mengenal Indy lebih dekat–wanita  inceran Arial yang dikenalnya di tempat fitness.
            “Halo,” Arial menyapa Indy. “Kenapa lama?” “Macet banget. Rese.... Eh nggak bilang bokap nyokap?” “Lagi pada pergi. Udah langsung cabut aja.” “Ok... Ibu Indy... saya siap mengantarkan Ibu Indy kemana aja...,” Arial bercanda seneng.
“Acaranya jam berapa? Sekarang udah jam lima lho?” “Abis magrib” “Kamu udah ashar belum?” tanya Indy. “Belum... hehehe...,” sambil tertawa kecil Arial menjawab pertanyaan Indy. Sekali lagi ini yang Arial suka dari Indy, selalu mengingatkan dirinya untuk shalat – suatu kewajiban yang sering dia tinggalkan. “Dasar... nggak apa, tapi nanti harus magrib yaa!” “Iya,”. “Kamu belum cerita siapa yang ulang tahun?”. Temen SMA. Dia dulu tetangga di Cibubur, tapi sekarang pindah ke Bogor,”. “Dia masih inget kamu?” “Kita kan dulu deket banget, temen curhat gitu-lah.” “Oh... kirain tadi acaranya jam 4....” “Jam 4? Emangnya ulang tahun anka kecil yang pake undangan kartu kecil gitu sama jam kosong buat kita gambar sendiri jarumnya?” Arial pun tertawa.

            Setelah melalui perjalanan yang cukup lama akhirnya mereka sampai, Kijang Arial memasuki daerah perumahan di Cisangkuy yang rimbun. Memasuki rumah Asri yang sedang berulang tahun, keramaian meyambut mereka.

            “Halo Indy... dateng juga lo. Sama siapa? Kenalin dong,” “Asri ini Arial. Arial ini Asri.....”. Asri menggamit tangan Indy untk diculik ke belakang sebentar. “Lucu banget, Dy...siapa tuh?” “Udah jadian belum....?” tanya Asri. “Tau nih bingung...” “Kayaknya jadi temen aja deh...,” Indy berkata lembut. “Rugi lo, atletis boo...,” celetuk Asri sambil melirik Arial. “Lo tau kan, buat gue fisik nggak penting. Udah ah, kasihan tuh sendirian, mati gaya dia,” jawab Indy, lalu berjalan ke Arial.
Setelah satu setengah jam di rumah Asri, mereka pun pamit pulang...

            “Mau kemana lagi, Bu?” kata Arial. “Nggak tau nih. Tapi kau lagi males pulang.” “Sama”. Tiba-tiba Arial punya ide cemerlang. “Ke Puncak aja yuk, kan deket.” “Ngapain?” “Ada tempat, punya keluarga besar gue di sana, deket-deket puncak pas. Kayak vila gitu deh. Kita ngobrol-ngobrol aja. Di jalan kita beli jagung bakar, duren, sama bandrek. Gimana?”... “Tapi jangan macem-macem ya, Pak!” Indy menatap mata Arial. “Maksudnya?”. Arial yang nggak ngerti maksud Indy, bertanya sambil mengerutkan keningnya. Indy akhirnya nyadar, Arial yang emang polos dan baik nggak akan pernah punya pikiran macem-macem. “Nggak,”Indy menjawab. “Oke kita ke Puncak,” kata Indy sambil menoleh dan tersenyum manis.

            Akhirnya mereka sampai di Puncak. Mobil Arial berhenti di depan gerbang sebuah vila yang berada di atas bukit kecil. Disana mereka berdua menikmati indahnya pemandangan dari atas vila Arial yang ditemani oleh dinginnya udara malam di Puncak. Obrolan dan candaan terus mengalir dari mulut mereka. Sampai Aakhirnya Arial mencoba mengungkapkan perasaannya kepada Indy. Dan... Arial pun mencium kening Indy. Indy masih rebah di bahu Arial, sambil menikmati keindahan malam.

Ian mencium tangan kedua orang tuanya, untuk berpamitan ke kampus...

“Jadi... KAMU... mau... ganti... lagi... semuanya?”

            “Enggak juga sih Pak. Judulnya doang dikit, sama hubungan antarvariabelnya, ada juga variabel yang ditambah,” Ian menjawab pertanyaan dari doen pembimbingnya. “Kamu selama ini kemana aja Ian?” “Cuti pak,” Ian bohonh. “Cuti apa Ian?” “Bantu orang tua di sawah...,” Ian bohong lagi. Bohongnya salah lagi, mana ada sawah di Jakarta. Ian menyesal dalam hati. “Mana ada sawah di Jakarta?” “Ada Pak!” Jawab Ian (cari gara-gara). “Kamu bohong Ian?” “Mm... iya Pak... saya sebenarnya cuti untuk cari duit, Pak. Jadi model bayi yang No Problem itu Pak, yang lucu, tapi yang sekarang udah gede bayinya. Syuting iklannya di Jepang, Pak. Di Satchi and Satchi, kan jauh itu Pak, jadi saya cuti.

            Ian bohong lagi. Tapi bohong yang ini rada-rada pinter karena dosennya percaya Ian emang sangat mirip sama model bayi No Problem. Ian pun lega.
“Oh... begitu... benar?” “Iya Pak!” “Bangga juga Bapak sama kamu. Jadi mau tambah satu variabel lagi?” “Iya, Pak!” “Oh... begitu... variabel apa lagi yang kamu mau tambah?” “Saya mau tambah variabel kecerdasan emosional, jadi nanti dilihat apa hubungannya sama Lima Disiplin Pembelajaran Organisasinya Peter Senge. Efektif nggak untuk sebuah organisasi. Begitu Pak,”Ian berbicara cepat. “Oh... begitu..,” “Iya Pak begitu,”. 

        “Kamu SD berapa tahun Yan?” tiba-tiba dosennya bertanya. “Enam Pak. Emangnya kenapa?” “Kalo kamu menyelesaikan kuliah kamu enam tahun juga, berarti kamu otak anak SD,”. Sang dosen bertanya lagi, “Dua bulan lagi ada sidang... bisa dikejar empat bab dalam dua bulan Ian?”. Ian diem. Hmm, baik juga nih dosen nyuruh sidang cepet-cepet. “Kalo kamu bisa, nanti saya bantu banyak.” “Nggak tau yah Pak. Pusing juga, dua bulan empat bab, belum kuisionernya.” “Cuma kamu saja anak bimbingan saya yang lama... lainnya Cuma satu semester. Kamu udah bikin rekor nggak enak buat saya.” “Iya nih Pak.. Saya nggak enak, saya juga dulu milih Bapak biar selesai satu semester, tapi kalo dua bulan empat bab pusing juga, Pak,” jawab Ian. “Bisa.. “. nggak? Dosen Ian menghardik galak. “Bisa deh Pak,” Ian jadi takut. “Bagus... sekarang taruh kata bisa itu disini,” dosen Ian berkata sambil menunjuk ke jidatnya. 


“Iya, Pak. Makasih, Pak.” “Kapan kamu nyerahin bab duanya?” “Minggu depan, Pak.” “Enggak boleh empat hari lagi kamu ke sini... bab dua kamu harus sudah selesai... ngerti.” “Hah???” Ian bengong. “Masa empat hari, Pak?” “Kamu SD berapa tahun, Yan?” “Iya, iya deh Pak,” Ian nggak mau denger kata-kata nyakitin lagi dari dosennya. “Ya udah sana... selamat sore Ian.” “Sssore pak.” Ian membereskan berkas-berkas skripsinya dan pergi menjauh dari ruangan dosennya.

Bagian Ketiga

   Sesampainya di rumah Ian langsung menuju komputernya yang ia namakan “Si kompibaiksekalitemenIan” untuk menyelesaikan skripsinya yang sempat tertunda. Ian yang sedang intelek sedikit gara-gara harus bikin skripsi, langsung mengganti gambar desktop yang semula bergambar Sir Alex Ferguson dengan gambar wisuda kampus megah milik kakaknya yang kebetulan udah lulus dan satu kampus sama Ian. 

            Setelah mengerjakan bab I, keesokan harinya Ian menemui dosennya untuk menyerahkan bab II. Ian pun bergegas menemui Pak Sukonto Legowo dosen pembimbingnya,  bab II nya sudah bagus dan tidak ada revisi. Alhasil Ian langsung disuruh melanjutkan bab III, namun Ian disarankan oleh dosennya untuk menyebar kuisioner dulu sambil melanjutkan bab III. Ian pun semakin senang karena sang dosen mau membantunya membuat kuisioner.

            Dua hari kemudian Ian sudah berada di kantor tempat ia melakukan penelitian untuk menyerahkan kuisionernya. Lima hari berlalu... Ian yang sedang berkutat dengan skripsinya mendapat tiba-tiba mendapat telepon. “Mas Dono ya? Udah selesai ya, Mas?” “Kayaknya ada masalah Yan... Direksi nggak ngizinin kuisioner kamu, padahal udah hampir terisi semua. Kuisionernya nggak boleh keluar dari kantor. Data perusahaan yang ada di Ian juga disuruh tarik lagi.” “ Sori banget Yan. Mas Dono udah coba argumen, tapi masih ditolak.” “Mas Dono bingung nih... nggak enak dapat peringatan. Nanti malam data yang ada di Ian, Mas Dono ambil ya?”. Ian menarik napas panjang, “Udah bener-bener nggak bisa ya Mas?” “Mas Dono udah coba berbagai cara”. Ian percaya mas Dono orangnya baik dan memang bisa dipercaya. “Ya udah Mas, nggak apa-apa.” “Sori banget ya, Ian.”

            Waktu seminggu untuk kuisioner lewat dalam sekejap, Ian pun patah semangat. Sejenak bayangan teman-temannya melintas di benaknya: Genta... Zafran... Riani... Arial. Gila... kangen banget gue sama mereka. Coba mereka ada disini. “Mas.. Jam berapa?” tiba-tiba Ian dikagetkan oleh seorang laki-laki berpakaian kerja. “Jam enam kurang lima.” Jawab Ian. “Makasih ya Mas. Mas ada api?” “Ada!” jawab Ian sambil merogoh sakunya. “Rokok Mas?” “Mm... iya Mas. Makasih.” “Pulang kerja Mas?” “Yo’i” jawab jawab lelaki berkemeja itu. “Kerja dimana?” “Disana tuh gedungnya...,” “Bagian apa mas?” “HRD”.
Mata Ian membeliak, sepancar wajah cerah terpancar. “Wah kebetulan nih. Saya lagi bikin skripsi tentang HRD, tapi mau bagi kuisionernya nggak ada yang mau nerima. Mas mau nggak?” “Boleh gue liat?” “Ini Mas, kuisionernya.” “Lho? ini kan yang lagi diteliti tim gue di kantor. Wah, bagus-bagus nih pertanyaannya... pas banget nih... gue sebarin di kantor gue aja ya... oke?” “Tapi yang cepet ya Mas. Saya Cuma punya waktu sebulan lebih dikit lagi... seminggu aja ya, Mas?” “Seminggu? Tiga hari juga kelar.”

            Benar saja tiga hari kemudian Ian mendapatkan kuisionernya sudah terisi lengkap, kemudian Ian melanjutkan skripsinya hingga selesai. Hingga akhirnya waktu sidang tiba... “Kira-kira 10 menit lagi giliran gue.” Ian pun mempresentasikan tugas akhirnya dihadapan para penguji. 

Jakarta menunggu sore. “Adrian Adriano...” “A!!!” “Yes!” Ian bersorak gembira ketika nama dan hasil sidang diumumkan. Dan akhirnyaaaa.. Ian lulus. Ian juga tidak lupa berterima kasih kepada dosen pembimbingnya.
**

7 Agustus pukul 09.00.. Arial mengirim SMS kepada teman-temannya.

            Selamat pagi semuanya gw kangeeeen bgt sama kalian semua, sumpah! Tgl 14 nanti kita ketemu di stasiun kereta api senen jam 2 siang. Trus kalo ada acara dari 14-20 Agustus lo batalin dulu yaa. Please... ini yg harus dibawa kalo gak ada minjem ya. Kan ada waktu seminggu: Carrier. Bajuanget yg banyak. Senter dan batere. Makanan dan snack buat 4 hari... kacamata item. Betadine, obat sendal sepatu. Kalo bisa mulai hari ini olahraga kecil-kecilan, apalagi buat Ian. Gitu aja ya. Sampai ketemu di stasiun senen jam 2. Genta yg lagi kangen.

Send to many

            Zafran, Riani, Ian dan Arial yang mendapat SMS dari genta kaget bercampur senang, saat mereka melihat kalender mereka sadar bahwa sekarang tanggal 07 Agustus dan seminggu lagi mereka akan bertemu. Mereka semua sudah sangat rindu satu sama lain dan akhirya mereka akan bertemu pada tanggal 14 Agustus di Stasiun Senen.

14 Agustus. Satu lebih tiga puluh lima menit.

            Siang itu daerah Senen panas sekali. Di Stasiun Senen Genta sedang menkmati makan siang di salah satu restoran padang. Tiba-tiba sosok Zafran terlihat oleh Genta. “Jupleeeee!!!” Genta berteriak. “Halo Ta,” Zafran cekikikan senang menyalami Genta. “Juple... gila ancur lo. Kangen gua sama lo, sama anak-anak...”. “Genta!!!” “Zafran!!!” teriakan Ian dan Riani membuat Genta dan Zafran tengak-tengok. “Ian...!” “Riani...!” Ian dan Riani berlari kecil memasuki restoran padang. Riani langsung memeluk Genta dan Zafran. “Kangen... kangen... jahat... jahat, kangen banget gue... kangen,”. 

            “Hercules Gilaaaa...!!!” Zafran teriak. Sosok Arial memasuki restoran. “Arial...!” Riani berdiri dan memeluk badan gede itu. “Genta... wah lo emang gila,” kata Arial. “Halo men!” jawab Genta. “Juple!” “Apa kabar lo men?” tanya Zafran. “Baik, gue mau cerita banyak nanti.” “Masa gue bisa kangen banget sama Rambo gila ini,” cetus Ian. Arial menatap satu-satu temannya dan beujar, “Eh... oh iya, gue ngajak seseorang buat ikut kita. Abisnya dia pengen banget ikut.” “Lho mana orangnya?” semuanya penasaran. “Si Dinda gue ajak...” “Asik... dong! gue nggak cewek sendiri,” Riani menyambut Arinda. “Halo semuanya... udah lama nggak ketemu ya!” “Halo Dinda apa kabar?” semuanya menyapa Dinda. “Halo Bang Zafran.” “Eh Dinda ikut?” “Iya...”. Riani tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang dari tadi sudah ditunggu-tunggu, “Kita sebenarnya mau ke mana sih?”.

Pukul setengah tiga lebih, mereka berenam berangkat dari Stasiun Senen. Mereka berangkat menaiki kereta ekonomi MATARMAJA yang entah sudah berapa tahun melayani trayek Malang-Jakarta. Dan akhirnya kereta pun mulai berjalan perlaha meninggalkan Stasiun Senen...

           “Ta, kapan terkahir lo ke sana?” “Tiga tahun yang lalu, Ple. Bulan Agustus juga” “Kalo bulan Agustus  rame banget ya di sana?” tanya Dinda. “Rame sih, tapi nggak rame banget.” “Kenapa Agustus?” “Kan tiap tujuh belasan ada upacara di puncaknya,” Arial menjawab pertanyaan Dinda. “Mas Ial kan belum pernah kesana.” “Diceritain Genta” “Berapa meter tingginya, Ta?” “3676 m dari permukaan laut....” “Busyet, tinggi juga ya,” Zafran kaget sendiri. “Tinggi banget...” Riani bengong, “Medannya berat nggak, Ta?” “Ya lumayanlah.” “Kuat apa kita? Bawa paus lagi?” Zafran bercanda sambil menendang Ian. “Iya Ta, gue kuat nggak Ta?” tanya Ian pasrah. Nggak tau ya, kayanya sih nggak. Makannya lo gue suruh lari pagi dulu seminggu sebelumnya. Lari pagi nggak lo?” “Lari!” “Setiap hari? Hebat juga lo!” “Enggak! Sehari doang” “Dasar paus!”.

“Dari dulu gue pengen banget ke sana” kata Arial. “Cuma di puncak sana aja yang ada upacara tujuh belasan-nya?” Riani bertanya lagi. “Enggak lah kalo kita jeli, hampir tiap puncak di Indonesia, tiap tujuh belasan pasti ada yang naik untuk upacara. Pers aja jarang merhatiin, padahal keren kalo dibuat liputan,” Genta berkata pelan. “Wah bagus tuh buattrip report gue,” kata Riani. “Kalo kita nanti sampai di puncaknya, berarti kita berada di tanah paling tinggi di Pulau Jawa.” Genta menatap tajam ke teman-temannya. “Oh jadi jadi puncak yang paling tinggi di Jawa. Ta...” “Iya, Yan.” “Nama puncaknya apa Ta?” “Mahameru”.

Setelah menempuh perjalanan yang panjang dari Jakarta ke Malang, pukul setengah tiga lebih mereka akhirnya tiba di Stasiun Malang. 

            “Abis ini kita kemana Ta?” Arial bertanya. “Gue lagi bingung nih... harusnya kita ke stasiun bus Arjosari dulu, terus naik angkutan ke Tumpang.” “Tumpang itu daerah mana?” “Tumpang itu kalo dari Malang gerbang masuknya TNBTS.” “Apa tuh? Singkatan? Zafran bertanya. “Oh iya sori... Taman Nasional Bromo Tengger Semeru”. Lalu Genta dan Arial pergi keluar stasiun untuk mencari carteran angkot. Sepuluh menit kemudian Genta dan Arial datang. “Dapet?” Arinda langsung bertanya. “Dapet! Siip, murah lagi.” “Ayo... berangkat!”. Dan mereka semua bernangkat menuju Tumpang dengan menggunakan angkot.

            Matahari sore masih tersisa sedikit, sore itu di Tumpang banyak sekali kesibukan. Jip-jip menunggu pendaki yang mulai berdatangan. Karena jalan yang akan ditempuh bukan jalan biasa lagi dan agak menanjak, maka mereka harus menaiki jip untuk sampai ke atas. Rombongan ini pun berjalan ke arah jip yang telah ditunjuk Genta, dan mereka bersiap untuk menempuh perjalanan kembali.

Dan akhirnya... mereka sampai di kaki Mahameru. “Ta...” “Iya Yan.” “Nanti kita akan ke sana? Berdiri di puncak itu? Berdiri di sana?” “Iya...” “Tinggi banget, Ta...” “Iya.” “Bisa apa kita, Ta?” “Yakin kita bisa?” Genta menoleh kepada teman-temannya dan menatap satu-persatu. “Gue udah taruh puncak itu dan kita semua ada d sisni.” Arial berkata pelan sambil menunjuk jari ke keningnya. Genta tersenyum. “Kalo begitu... yang kita perlu sekarang Cuma kaki yang akan berjalan leih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja.” 

“Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya,” sambung Zafran.

“Serta mulut yang akan selalu berdoa,” Dinda tersenyum manis.

Setuju!!!
**

            Malam sudah datang menyapa mereka saat menjejakkan kaki di tanah Ranu Pane. Udara di bawah lima belas derajat Celcius menyambut mereka di Ranu Pane. Keenam sahabat ini pun bermalam di Ranu Pane dengan mendirikan tenda untuk tidur. Kemudian mereka membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh dan mereka beristirahat di dalam tenda. Pada pukul 05.00 mereka semua bangun dan bergegas untuk mulai mendaki gunung. “Siap semua?” Genta memegang kedua tali carrier dan menatap teman-temannya. “Berangkat!”

            Mereka mulai melangkah, menyusuri jalan berbatu desa yang akhirnya berbelok ke jalan setapak kecil menuju ke punggung Mahameru. Sudah satu jam lebih mereka berjalan tanpa henti. “Genta...break, Ta. Hehh... hehh...,” napas Riani memacu satu-satu. “Iya Bang Genta, break dulu.” Keringat meluncur deras di kening Arinda.”Oke sip. Itu di depan ada pohon. Kita break di situ”. Setelah beristirahat sejenak, mereka pun melanjutkan perjalanannya. Perjalanan berlanjut menembus-mendaki pinggir hutan punggung Mahameru. Dari ketinggian pinggiran lereng hutan Mahameru, Ranu Kumbolo perlahan muncul seperti tetesan air raksasa yang jatuh dari langit dan membesar di depan mereka.

            Sesampainya di Ranu Kumbolo, mereka beristirahat dan membuat makan siang. Udara Ranu Kumbolo tiba-tiba berubah dingin, menemani mereka makan siang di sekeliling danau dengan beberapa batang pohon terjulur di atas danau. Setelah mengahbiskan makan siang dan bercakap-cakap, Pukul tiga kurang lima mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Zafran dan Genta melipat terpal, Arial dan Ian membereskan kompor parafin, Riani dan Dinda membereskan sisa-sisa makan siang. “Ta...” “Iya, Yan.” “Berapa lama lagi kita jalan?” “Kalo sampai puncak ya masih setengah hari lagi...tapi nanti malam kita ngecamp dulu Arcopodo.” “Masih jauh banget ya?” “Masih... jauh, nggak pakai banget.” “Siap?” sebentar mereka menatap Ranu Kumbolo yang tenang selepas siang. Kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan. “Berdoa dulu.” Semuanya tertunduk, memjamkan mata. “Yuk....” 

            Mereka mulai melangkah lagi, mulai berjalan meninggalkan Ranu Kumbolo. Rombongan itu langsung disambut oleh sebuah bukit tinggi dengan jalan setapak yang menanjak curam membelah kumpulan ilalang liar yang tumbuh di badan bukit. “Gilee tinggi juga ya...” “Agak curam” “Tanjakan cinta.” “Apaan Ta?” “Banyak yang menyebut bukit ini tanjakan cinta.” “Hahaha... Kenapa Ta?” “Itu liat aja, Ple. Kalo dari jauh bentuknya kayak lambang cinta.” “Iya juga sih.” Genta meneruskan, “Ada lagi mitos satu yang mengatakan kalo kita terus mendaki tanpa melihat ke bawah lagi maka segala mimpi tentang cinta kita akan terwujud.” “Hah yang bener?” mata Ian dan Zafran berbinar-binar. “Iya, tapi ada satu lagi syaratnya. Selama kita mendaki harus terus mikirin orang yang kita mau itu.” Ian dan Zafran pun kegirangan dan mendaki sambil menyebut-nyebut orang yang mereka suka. Mereka terus melangkah sambil berpikir keras. Ian memikirkan Happy Salma dan Zafran melakukan hal yang sama, siapa lagi yang dipikirin kalo bukan Dinda.

            “Fiuh, fiuh, fiuh.” Atur napas satu-satu. “Capek juga ya Ple.” “Iya makannya jangan cepet-cepet. Santai aja.” “Gilaa... berat juga mencari cinta. “Juplee!!... Ndut!!! Wooy!!!” “Iya Taa...” Ian dan Zafran refleks menengok ke bawah. “Apa Ta?” “Sampai ketemu di atas bukit ya...,” Genta berteriak lantang. Arial, Riani dan Dinda tertawa terbahak-bahak, sementara Genta yang masih bingung bertanay “Kenapasih?” “Wooy kenapa?”. Arial yang masih tertawa coba memberitahu Genta. “Hahaha...gara-gara lo panggil, mereka berdua nengok ke bawahkan? Padahal kalo mau keinginannya tercapai kan nggak boleh nengok ke bawah... hahaha...”. “HAHAHA...,” tawa Genta meledak keras. “Gue... gue... enggak sengaja. Sumpah! Hahaha... ancur... Gue emang mau manggil mereka berdua, sumpah nggak sengaja.” Ian dan Zafran terduduk lemas di atas. Alhasil mereka pun kesal dan menyalahkan satu sama lain.

            Tak terasa langkah mereka semakin berat kelelahan, mereka berada di ujung pinggiran bukit, di depan tampaklembah kecil menganga seperti bekas sungai yang tak berair. Pasir dimana-mana, pohon-pohon mati tampak melintang di jurang dalam seperti bekas sungai tersebut. “Ih, tempat apa ini?” “Serem banget...” “Kita di... Kalimati.” “Di Kalimati, dari sini kita bisa ngerasain Mahameru bergetar dan ngeluarin hujan... hujan abu?” Genta memejamkan matanya dan mengambil kacamata. 

            Udara menjelang maghrib menyapu mereka. Rombongan itu melangkah lagi, naik k tebing Kalimati dan memasuki hutan cemara yang sudah mulai menggelap. Mereka terus berjalan melewati dalam hutan, keluar melewati sebuah padang ilalang kecil. Malam pun segera datang menyambut. Sampai akhirnya mereka sampai di Arcopodo, sebuah bukit yang akan dijadikan tempat nge-camp atau bermalam disana.
“Ki... ki... ta u... u... dah ting.. gi ba... nget ya...” “Udah di tiga ribu meter.” Genta mengangguk. “Makannya udah tipis udaranya, mulai susah napas.” Zafran menyalakan api unggun. “Rebus aja air yang banyak, bikin teh manis untuk nanyi malam.” “Nanti malam memang ada apa?” “Nanti malam kita naik... ke Mahameru.” “Jam berapa?” “Sekarang jam berapa?” “Jam delapan kurang sepuluh.” “Berarti kita udah harus tidur sebelum jam sembilan... nggak ada yang ngobrol-ngobrol lagi, semuanya tidur.” “Kita punya waktu istirahat lim jam lebih. Kita nanti bangun jam setengah tiga dan langsung naik... Kita harus istirahat supaya bisa sampai ke puncak.” Setelah menghabiskan makan malam, mereka pun mulai memasuki tenda untuk beristirahat. 

            Pukul 02.30 malam, rombongan itu berdiri di depan tenda. Keenam anak manusia itu tertegun melihat Mahameru dalam gelap. Semua berkumpul membentuk lingkaran kecil, tangan mereka saling berangkulan. Semuanya menunduk terdiam. Suara desis doa terdengar sayup-sayup , mata mereka sedikit memburam. “Berangkat..!” Rombongan mulai bergerak, berjalan melewati hutan cemara yang gelap dan terus melanjutkan perjalanan mereka di antara dinginnya angin malam...
**

Arcopodo Mahameru. Tujuh Belas Agustus. Tanah Air ini.

This world is for those who want to fight
            Sehabis tertunduk, mereka mendongak ke atas. Puncak Mahameru seperti sebuah gundukan pasir mahabesar dengan tebaran batu karang gunung di mana-mana. “Ada yang ingat janji kita waktu di jip? Apa yang kita perlu untuk sampai ke puncak?” “Masih” “Masih” “Apa?”            “Yang kita perlu sekarang Cuma kaki yang akan berjalan leih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja.”
“Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya....”
“Serta mulut yang akan selalu berdoa....”
Mereka pun tertunduk melihat satu sama lain, “Mahameru kita datang!”

            “Dari sana dimulai pendakian.” Genta menunjuk ke sebuah jalan kecil seperti jembatan yang menyembul di antara jurang dalam di kanan dan kirinya. “Kita harus menyeberang jalan itu... hati-hati ya.” Semuanya berpegangan erat di rantai, sampai akhirnya mereka semua sampai di ujung penyeberangan. “Selanjutnya vertikal...,” Arial melihat ke atas, gundukan pasir dan batu gunung sekarang berada di depannya. Jalan setapak tinggi berpasir itulah yang harus mereka taklukan. “Hati-hati ya... semuanya”. 

            Saat sedang mendaki tiba-tiba sebuah teriakan dari atas mengejutkan mereka , “Batu, batu... awas!!!” “Rocks!!!” beberapa batu kecil dan besar seukuran genggaman tangan jatuh dari jalur pendakian. Semua pendaki mejatuhkan badannya ke samping. Buk... buk... gruduk. Genta tercekat. Dia lupa bilang tentang hal ini. “Sori, emang nantinya banyak batu yang jatuh dari atas selama pendakian. Hati-hati ya...” “Nggak bilang lo,” Zafran tampak terengah-engah. “Sori banget lupa... Kalo denger kata ‘batu’ atau ‘rocks’ langsung aja nengok ke atas, liat batunya jatuh ke mana terus mencoba menghindar, tapi jangan panik. Begitu juga kalo kita yang bikin batu itu terkepas atau jatuh. Kita harus teriak supaya yang di bawah denger dan nggak kena batu. Oke?” 

Bagian Keempat

            Di dalam pendakian tiba-tiba Arial meminta break. Dia tampak kedinginan, lalu Riani memberikan minum dan kelima temannya langsung mendekati Arial agar dia terasa hangat. “Udah berapa jauh, Ta?” “Hampir setengah.” “Masih setengah lagi?” “Liat aja itu puncaknya. Kita udah hampir setengah, liat udah hampir subuh...,” Ian menatap ke atas. “Gimana Rambo?” Arial masih menggeleng, sendinya terasa pegal. Udara dingin terus menusuk-nusuk. “Pakai jaket gue nih.” Ian memberikan jaketnya. “Lo gimana?” “Gue lapis lima.” “Inget lo kedinginan bukan kecapekan ya. Lo pasti bisa ke puncak.” “Tambah lagi nih,” Zafran melepas sweaternya. Arial yang sudah hampir tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan ke puncak, tiba-tiba berdiri lagi setelah mendapatkan dorongan semangat dari kelima temannya. Dan mereka pun kembali mendaki.

Hujan abu turun lagi. Bertambah deras, dan menimbulkan gemeletak-gemeletak menyeramkan. "Gue di depan ya, Ta...” Arial tampak semangat. “OK Bos!”

            Malam mulai beranjak pergi, dan udara pagi mulai menyapa mereka. “Break!” Arial berteriak keras. Mereka berenam melepas lelah, udara hangat mulai menyapa. Puncak Mahameru mulai terlihat terang. “Kita di ataas awan... kita di atas awan...” “Keren banget.” “Iya, ini yang pernah gue bilang. Samudra menyentuh langit.” “Subhanallah...” “Keren banget.” Di antara lelah tak terhingga, mereka mengucap syukur dan terima kasih. Kembali keajaiban Mahameru menyapa mereka. 

            Matahari pagi tujuh belas Agustus pun terbit, sinar matahari yang hangat menyapa badandingin mereka. “Yuk naik lagi, tinggal sedikit lagi...” “Tinggal seperempat jalan lagi kayaknya.” “Betul!” mereka kembali mendaki. Kali ini udara lebih hangat membuat mereka semakin semangat mendaki. Brug! Teriakan panik terdengar dari atas. “Awas!!! Yang dibawah awas..!” Brug brrbklutuk lklutuk....

“Batu!!!” “Awas...!!!” Puluhan batu sebesar ukuran kepala manusia tampak berjatuhan dari atas mereka. Semua berusaha menghindar ke samping, mencoba mencari perlindungan di bawah batu yang lebih besar. Brug... brug... brug... “Awas! Awas! Batu!” Para pendaki yang berada di jalur pendakian beretriak sekuat tenaga. Genta panik melihat banyaknya batu yang datang, bayang-bayang teman-temannya tampak menghindar kesana kemari. 

            Hujan batu dan pasir masih belum selesai. Gemuruh. Riuh. Lalu... keheningan memnuhi jalur pendakian. Genta segera berdiri mencari kelima temannya, Ian dan Dinda tampak tergeletak, menelungkup. Riani tiba-tiba muncul di depannya dengan muka penuh pasir. “Ni... Ni... nggak pa-pa kan?” Riani menggeleng dalam diam. Genta menarik napas lega. Zafran terlihat menggeliat dari bawah tumpukkan batu besar dan menganggukan kepalanya untuk memberi tanda kepada Genta. Arial duduk dan menggoyangkan tubuh adiknya yang masih tengkurap tanpa gerakan. Di sebelahnya Ian dengan posisi yang sama.

            “Ian... Ian...” Ian masih terpejam. Semuanya tercekat melihat Ian masih tergeletak, Dinda akhirnya sadar dan berkata pelan, terputus-putus, “I... i... i... an... Ian a... ada... ba... ba... tu yang ke... ke... na ke... ke... palanya...” Dinda langsung berdiri dan mencari Ian. “Ian... Ian... Ian bangun, Yan!” “Please bangun, Yan!” “Ian, Ian!!!” Zafran Riani dan Dinda menangis melihat Ian yang masih tak sadar. Ian... Ian... bangun.. Ian, please...” 

            Riani, Arial, Dinda dan Zafran berlari memeluk Genta. “Ta, Ian, Ta...” “Ian...” mata mereka tak lepas memandang tubuh Ian yang masih tanpa gerakan sedikit pun. “Ian janganpergi, Yan! Ian jangan pergi, Yan... Ian jangan pergi dulu...!!! Elo kan mau wisuda, Yan.. jangan Yan, jangan... maafin gue, Yan... gue banyak salah...” “Ian... nggak... boleh... pergi.” Genta kembali menangis. “...IAAAAAAAAAANNNNNNNN!!!” Zafran berteriak keras ke langit. “Puih... puih... kenapa lo, Ple? Bikin kaget aja... teriak-teriak. Puih... puih... pasir nggak enak ya, Ple... Puih nggak lagi-lagi deh gue makan pasir. Nggak enak.”

           “YEAAAAAH!!!” suara sorakan gembira memenuhi jalur pendakian Mahameru... semuanya terlihat lega. “YES!!!... YES!!!... YES!!!” Setelah Ian sadar, mereka berenam kembali melanjutkan perjalanan mereka. Ian dan Zafran terus mendaki, kali ini mereka tambah bersemangat setelah melihat bendera merah putih yang dibawa oleh seorang mahasiswa yang memakai jaket almamater.

This is it... the end... of our journey...” Genta berehenti sebentar diantara dua buah batu besar. Jalur pendakian tampak berhenti disitu. Mereka masih belum sampai puncak, pemandangan puncak Mahameru masih tertutup gundukan tanah kecil di depan mereka.
“Hanya beberapa langakah lagi... kita sampai di pucak...”
“Hold my hand please...” Riani tersenyum menggandeng tanagn Dinda dibelakangnya, Dinda memegang tangan Ian, Zafran dan Arial terus menyambung genggaman itu.
“Siaaap?” Genta tersenyum lepas... semuanya memandang satu sama lain. Setengah berlari mereka bergandengan memasuki jalur akhir pendakian yang tinggal sepuluh meter lagi.
Tujuh meter....
Lima meter....
Tiga meter....
...!!!!

“Dan.... kita di Mahameru....” Akhirnya mereka berhasil mencapai puncak Mahameru untuk mengibarkan Sang Saka merah putih dan melakukan upacara 17 Agustus di atas puncak Mahameru. 

Tujuh belas Agustus. Setengah delapan malam.

            Wajah-wajah penuh ceria di antara nyala api unggun terlihat jelas di tanah surga Mahameru. Keenam sahabat itu asik bercengkerama di tengah udara dingin Ranu Kumbolo. Setelah selesai bercengkerama, satu-satu mereka masuk ke dalam tenda. Genta dan Riani masih ingin menikmati malam yang indah di Ranu Kumbolo. Mereka berdua duduk berdekatan di depan api unggun. “Thanks ya, Ta, buat ini semua.” Genta mengangguk, matanya memandangi api unggun. “Kita sering banget berduaan begini ya, Ta?” “Iya...” “Seperti bapak sama ibunya anak-anak. Yang lain udah pada tidur, kita masih sering ngobrol berdua,” ujar Riani lembut. Genta menarik napas panjang, mengumpulkn keberaniannya. Genta menoleh ke tenda tempat teman-temannya tertidur lelap.

             “Riani...” Dan... kata-kata tumpah saat itu juga, penih dengan ciptan-ciptaan keindahan argumen lembut mengalir deras. Riani yang semenjak tadi mendengarkan,menoleh lembut ke Genta, matanya berkaca-kaca, tangan lembutnya memegang erat Genta. “Terima kasih, Ta” “Tapi... bukan... kamu, Ta.” Genta seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Riani. “Dia... Zafran, Ta.” Genta tersenyum lembut, kekcewaannya luluh melihat kekuatan Riani.
**

Sepuluh tahun kemudian
Minggu pagi di Secret Garden.
“Arian!!! Jangan cabut tanaman... papa nggak suka...” Arial menggendong buah hatinya yang berumur lima tahun. Keluarga besar itu berkumpul di bungalow secret garden. Riani dan Dinda memejamkan matanya, sekarang mereka menjadi seorang ibu. Bungalow secret garden hari itu penuh dengan doa, mimpi, dan keyakinan tulus di hati anak manusia. Semuanya saling pandang dan tersenyum hangat satu sama lain.

SELESAI.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate

Powered By Blogger