Judul Buku : 5 cm
ISBN : 9797591514
Penulis : Donny Dhirgantoro
Penerbit : PT Grasindo
Terbit Tahun : 2007
Halaman : 381 halaman
Jadi kali
ini saya akan meringkas Novel yang saya sedang baca jadi saya akan
menguploadnya sebagian-sebagian.
Novel ini menceritakan tentang
persahabatan 5 orang manusia yang telah menjalin persahabatan selama tujuh
tahun. Mereka selalu bersama-sama kemanapun mereka pergi dan beraktivitas,
sampai pada suatu ketika mereka sampai pada titik jenuh dengan aktivitas yang
mereka lakukan. Akhirnya mereka menemukan sebuah ide untuk tidak bertemu dan
berkomunikasi selama tiga bulan. Dan kelima sahabat tersebut memutuskan untuk
melepas rindu dengan mendaki puncak gunung Mahameru. Adapun tokoh atau
penokohan dalam novel ini adalah:
Pengenalan Tokoh
Arial, Dia adalah Sosok yang paling ganteng diantara mereka, karena
badannya besar, kulitnya item, Suka basket dan olahraga. Kalo kemana-mana
selalu pake sepatu basket, pokoknya rapi dan sporty.
Riani, Wanita berkacamata, cantik, cerdas dan seorang N-ACH sejati. Dia
adalah satu-satunya wanita diantara kelima sahabat ini. Selalu dominan
dimana-mana, cerewet dan nggak mau kalah sama siapapun juga. Riani seorang
aktivis kampus, siapa aja bisa didebatnya soalnya dia banyak baca dan banyak belajar.
Dia mempunyai cita-cita bekerja di stasiun TV.
Zafran, Seorang penyair yang selalu bimbang
dan jago bikin puisi. Dia juga seorang vokali sebuah band. Badannya kurus,
sekurus kapur tulis, potongan rambut gondrong samping dan depan. Zafran juga
percaya kalo dia sebenarnya punya keturunan darah Achilles (sehabis nonton film
Brad Pitt dan Eric Bana, Troy). Dan dia juga naksir sama Arinda atau Dinda yang
merupakan adik dari Arial.
Ian, Badannya gemuk kepalanya plontos. Ian adalah penggila bola, apa aja
tentang bola dia tahu dan kebanyakan ngabisin waktunya tentang bola. Suka main
Championship Manager atau Winning eleven PS2. Baju bergambar kartun, celana
jins, sama Adidas gazelle buluk adalah kostum sehari-harinya.
Genta, “The Leader”. Genta adalah pemimpin di geng ini, karena keempat
temannya paling nurut sama Genta. Dia berkacamata dan selalu pakai baju yang
ada, pokoknya Genta adalah orang yang nggak macem-macem, tapi pikirannya penuh
macem-macem. Dia juga mengagumi Riani.
Bagian Pertama
Pada suatu malam lima
orang ini berada sedang berada di dalam mobil, merekadalam perjalanan pulang setelah
baru saja makan bubur ayam di Cikini. Lalu dalam perjalanan tiba-tiba Ian
berkata “Wooi mau kemana lagi nih? Capek nih gue nyetir...muter-muter nggak
karuan”. Riani menjawab “Nonton aja yuk!”.. “Nonton apa? Lagi nggak ada yang
bagus...,” Genta males nonton.. “Shrek 2 aja...,” Arial tiba-tiba berkata.
“Udah!!!” Keempatnya menjawab serentak. Dari mereka berlima memang hanya Arial
yang belum nonton Shrek 2, karena pada saat itu dia sedang sakit tipes sehingga
nggak bisa ikut nonton bareng. “Trus mau ngapain dong...? Ke rumah gue lagi?”
Tanya Arial. “Setuju!!!” Zafran langsung teriak.
Dari keempat temannya hanya Zafran
yang paling seneng kalo kerumah Arial, maklum Zafran dari dulu udah naksir
berat sama adiknya Arial yaitu Arinda atau Dinda.
Karena sudah bingung ingin kemana
lagi, akhirnya mereka berlima sepakat untuk kerumah Arial. Sebelum kerumah
Arial, Riani membujuk teman-temannya untuk patungan beli pizza dan monopoli.
Sesampainya dirumah Arial, mereka langsung masuk ruang tamu.
“Malam, Tante...”. “Oh malam anak-anak.. mau main disini lagi ya?
Untung Tante baru beli singkong keju....” “Iya, Tante...” “Seneng
deh ketemu kalian lagi”. Lalu Mama Arial tiba-tiba teriak memanggil Arinda, dan
seketika Zafran langsung bengong.
Zafran masih bengong dengan sendiri,
masih heran kenapa setiap kali ketemu Dinda pasti ada Sountrack
Evergreen Love Songs di otaknya, Padahal dia anak band alternatif yang
agak anti lagu cengeng. Dan juga masih heran sama senyum Dinda yang menurut dia
bisa ngalahin semua bintang sinetron telenovela.
“Alaaa... udah yuk ke atas...,” Ajak
Arial. “Yuk!” Riani yang paling semangat, dia males ngeliat Zafran jadi bengong
begitu ketemu Dinda. Akhirnya Arial mengajak teman-temannya ke
ruangan atas depan kamarnya yang selama ini mereka sebut sebagai “The Chambers
of Secret Sorcerer Stone” Kenapa? Karena semuanya penggemar Harry Potter.
Akhirnya mereka semua bermain monopoli disana.
Setelah bermain monopoli dan makan
cemilan serta pizza, mereka pun bosen. Mau nonton TV, bosen lagi. Nonton VCD,
bosen juga. Cemilan dan pizza udah abis sama Ian, jadi tinggal ngobrol, ngobrol
dan ngobrol... nggak jelas.
Karena
mereka sudah bosan akhirnya Arial mengajak pindah ke Secret Garden. Sambil
turun tangga Ian pesen ke Arial kalo dia pengen Indomie, dan Arial pun langsung
memberikan aba-aba ke pembantunya untuk membuat Indomie. Kalo Ian udah makan
Indomie seperti biasa Riani paling suka minta kuahnya, apalagi yang kari ayam.
Kemudian mereka pun beranjak ke Secret Garden. Sesampainya di Secret Garden
mereka duduk membentuk lingkaran, seperti biasa Riani duduk di sebelah Genta.
“Yan sebelum makan lo harus nyanyi dulu...” Arial langsung memberikan gitar
yang sudah satu paket dengan teh manis hangat dan Indomie-nya Ian. “Kiss of
life-nya Sade, Yan...,” Genta meminta “Jangan, Always-nya Atlantic Star
aja...,” imbuh Arial. “Fake plastic Tress-nya Radiohead aja,” Zafran dengan
mantap mau berkelam-kelam ria. “Yo’i...,” Riani setuju.
Diantara keindahan malam di Secret Garden mereka bernyanyi. Ketika sedang
bernyanyi, lagu Fake Plastic Tress mengingatkan mereka pada
sifat Ian sebelum bergabung ke dalam geng mereka. Mereka berlima memang sudah
menjalin persahabatan sejak bangku SMA, namun diantara mereka berlima Ian
merupakan ranger terakhir yang masuk dalam geng “Power Rangers”. Sebelumnya
mereka hanya berempat, namun setelah Ian masuk sebagai anggota terkahir geng
mereka, akhirnya mereka berlima sepakat memberi nama geng ini dengan sebutan
“Power Rangers”. Ian yang dulu adalah Ian yang belum menemukan jati dirinya.
Ian yang kadang-kadang cuma ikut nimbrung nongkrong bukanlah Ian yang sekarang.
Ian yang dulu adalah orang yang ngga pede sama dirinya sendiri, yang selalu
mencoba jadi orang lain, yang selalu memandang orang lain lebih hebat dari
dirinya. Namun teman-temannya selalu berusaha mengingatkan Ian agar menjadi
diri sendiri. Kalau ingat kejadian itu, Ian menamkannya dengan “Finding Ian”.
Dan sekarang Ian menjadi Ian yang apa adanya...
Bagian Kedua
Masih
di Secret Garden, Ian bernyanyi dengan gitarnya menambah suasana hangat malam
itu. Sampai akhirnya Indomie Ian datang, dan kalo Ian makan Indomie pasti Riani
langsung mengambil mangkok kosong yang udah disiapin pembantunya Arial buat
minta kuahnya. Setelah bernyanyi dan bercanda entah untuk keberapa kalinya
mereka mengalamiDe javu. Merek merasa bosan karena kalau kemana-mana
selalu berlima. “Gue sih nggak pernah bosen sama kalian,” Arial menjawab.
“Bukan sama orang-orangnya, tapi sama kita-nya” Zafran mendesis pelan. “Iya nih
kita standar-standar aja” Arial nyambung lagi.
Zafran
tiba-tiba berkata, “Plato, seorang filsuf besar pernah bilang bahwa nantinya
dalam kehidupannya setiap manusia akan terjebak dalam sebuah gua gelap yang
berisi keteraturan kemapanan, dan mereka senang berada di dalamnya. Karena
mereka terbuai dengan segala kesenangan disana dengan apa yang telah mereka
capai, hingga akhirnya mereka takut keluar dari gua tersebut. Mereka memang
bahagia, tetapi diri mereka kosong dan mereka nggak pernah menemukan siapa diri
mereka sebenarnya... mereka nggak punya mimpi.”
“Mungkin
sebaiknya kita nggak usah ketemuan dulu,” Genta berkata. “Maksudnya?” Riani
menjawab. “Keluar dari gua kita untuk sementara.....,” Zafran melanjutkan. “Gue
mau...,” Arial menyambut dengan mantap. “Tapi gue nggak mau kehilangan kalian
semua,” Riani berkata pelan. “Ya enggak-lah,”.. “Kita keluar sebentar aja,
bermimpi lagi masing-masing tentang kita, nanti pas ketemu lagi, pasti lain
lagi, lain ceritanya, lain lagi orangnya,” kata Genta. “Gue setuju! Gue mau
PDKT lagi sama skripsi yang udah lama gue putusin” semangat Ian. “Untuk berapa
lama?” Pertanyaan yang susah ini bikin bingung semuanya. “Enam bulan!” usul
Zafran. “Enggak mau!” Riani langsung ngambek. “Tiga bulan aja,” tiba-tiba Ian
nyeletuk. “Setuju!” Arial langsung setuju. Genta mengangguk. Zafran pun setuju.
“Ya
udah, kalian jahat,” Riani menjawab dengan tegar. “Yee... tadi katanya mau,
sekarang bilang jahat, yang jahat disini kan nggak ada, kita kan ‘Power
Rangers”–pembela kebenaran,” Zafran mencoba bercanda dengan Riani. Akhirnya
Riani pun tersenyum manis sekali. “Tiga bulan dari sekarang kapan yah...tanggal
berapa?” “14 Agustus,” Arial menjawab. Kita ketemu lagi tanggal 14
Agustus yah...,” Genta meyakinkan teman-temannya. Akhirnya mereka sepakat tidak
boleh bertemu dan saling berkomunikasi dalam bentuk apapun selama tiga bulan,
sampai tanggal 14 Agustus.
Selama
tiga bulan tidak bertemu mereka berlima mengejar mimpinnya masing-masing yang
belum tercapai. Ian berjuang menyelesaikan skripsinya untuk menjadi sarjana,
sementara Arial mengejar cintanya dari seorang wanita yang dia kenal di tempat
fitness yaitu Indy. Dalam kurun waktu tiga bulan itu juga mereka
menemukan hal baru dan diterpa rasa rindu. Riani yang rindu dengan Genta dan
Zafran yang rindu dengan Dinda adik dari Arial.
Sabtu siang menjelang sore..
Arial
terjebak diantara kemacetan pintu tol Cibubur. Lengan kekarnya yang memegang
stir keras merekam kepenatan di dalam dirinya. “Rumahnya jauh banget sih...,”
batin Arial dalam hati. Akhirnya setelah mobilnya berhasil melewati kpenatan
pintu tol Arial pun sampai di rumah Indy. Sudah satu bulan ini Arial memutuskan
untuk mengenal Indy lebih dekat–wanita inceran Arial yang dikenalnya
di tempat fitness.
“Halo,”
Arial menyapa Indy. “Kenapa lama?” “Macet banget. Rese.... Eh nggak bilang
bokap nyokap?” “Lagi pada pergi. Udah langsung cabut aja.” “Ok... Ibu Indy...
saya siap mengantarkan Ibu Indy kemana aja...,” Arial bercanda seneng.
“Acaranya jam berapa? Sekarang udah
jam lima lho?” “Abis magrib” “Kamu udah ashar belum?” tanya Indy. “Belum...
hehehe...,” sambil tertawa kecil Arial menjawab pertanyaan Indy. Sekali lagi
ini yang Arial suka dari Indy, selalu mengingatkan dirinya untuk shalat – suatu
kewajiban yang sering dia tinggalkan. “Dasar... nggak apa, tapi nanti harus
magrib yaa!” “Iya,”. “Kamu belum cerita siapa yang ulang tahun?”. Temen SMA.
Dia dulu tetangga di Cibubur, tapi sekarang pindah ke Bogor,”. “Dia masih inget
kamu?” “Kita kan dulu deket banget, temen curhat gitu-lah.” “Oh... kirain tadi
acaranya jam 4....” “Jam 4? Emangnya ulang tahun anka kecil yang pake undangan
kartu kecil gitu sama jam kosong buat kita gambar sendiri jarumnya?” Arial pun
tertawa.
Setelah
melalui perjalanan yang cukup lama akhirnya mereka sampai, Kijang Arial
memasuki daerah perumahan di Cisangkuy yang rimbun. Memasuki rumah Asri yang
sedang berulang tahun, keramaian meyambut mereka.
“Halo
Indy... dateng juga lo. Sama siapa? Kenalin dong,” “Asri ini Arial. Arial ini
Asri.....”. Asri menggamit tangan Indy untk diculik ke belakang sebentar. “Lucu
banget, Dy...siapa tuh?” “Udah jadian belum....?” tanya Asri. “Tau nih
bingung...” “Kayaknya jadi temen aja deh...,” Indy berkata lembut. “Rugi lo,
atletis boo...,” celetuk Asri sambil melirik Arial. “Lo tau kan, buat gue fisik
nggak penting. Udah ah, kasihan tuh sendirian, mati gaya dia,” jawab Indy, lalu
berjalan ke Arial.
Setelah satu setengah jam di rumah
Asri, mereka pun pamit pulang...
“Mau
kemana lagi, Bu?” kata Arial. “Nggak tau nih. Tapi kau lagi males pulang.”
“Sama”. Tiba-tiba Arial punya ide cemerlang. “Ke Puncak aja yuk, kan deket.”
“Ngapain?” “Ada tempat, punya keluarga besar gue di sana, deket-deket puncak
pas. Kayak vila gitu deh. Kita ngobrol-ngobrol aja. Di jalan kita beli jagung
bakar, duren, sama bandrek. Gimana?”... “Tapi jangan macem-macem ya, Pak!” Indy
menatap mata Arial. “Maksudnya?”. Arial yang nggak ngerti maksud Indy, bertanya
sambil mengerutkan keningnya. Indy akhirnya nyadar, Arial yang emang polos dan
baik nggak akan pernah punya pikiran macem-macem. “Nggak,”Indy menjawab. “Oke
kita ke Puncak,” kata Indy sambil menoleh dan tersenyum manis.
Akhirnya
mereka sampai di Puncak. Mobil Arial berhenti di depan gerbang sebuah vila yang
berada di atas bukit kecil. Disana mereka berdua menikmati indahnya pemandangan
dari atas vila Arial yang ditemani oleh dinginnya udara malam di Puncak.
Obrolan dan candaan terus mengalir dari mulut mereka. Sampai Aakhirnya Arial
mencoba mengungkapkan perasaannya kepada Indy. Dan... Arial pun mencium kening
Indy. Indy masih rebah di bahu Arial, sambil menikmati keindahan malam.
Ian mencium tangan kedua orang
tuanya, untuk berpamitan ke kampus...
“Jadi... KAMU... mau... ganti...
lagi... semuanya?”
“Enggak
juga sih Pak. Judulnya doang dikit, sama hubungan antarvariabelnya, ada juga
variabel yang ditambah,” Ian menjawab pertanyaan dari doen pembimbingnya. “Kamu
selama ini kemana aja Ian?” “Cuti pak,” Ian bohonh. “Cuti apa Ian?” “Bantu
orang tua di sawah...,” Ian bohong lagi. Bohongnya salah lagi, mana ada sawah
di Jakarta. Ian menyesal dalam hati. “Mana ada sawah di Jakarta?” “Ada Pak!”
Jawab Ian (cari gara-gara). “Kamu bohong Ian?” “Mm... iya Pak... saya
sebenarnya cuti untuk cari duit, Pak. Jadi model bayi yang No Problem itu Pak,
yang lucu, tapi yang sekarang udah gede bayinya. Syuting iklannya di Jepang,
Pak. Di Satchi and Satchi, kan jauh itu Pak, jadi saya cuti.
Ian
bohong lagi. Tapi bohong yang ini rada-rada pinter karena dosennya percaya Ian
emang sangat mirip sama model bayi No Problem. Ian pun lega.
“Oh... begitu... benar?” “Iya Pak!”
“Bangga juga Bapak sama kamu. Jadi mau tambah satu variabel lagi?” “Iya, Pak!”
“Oh... begitu... variabel apa lagi yang kamu mau tambah?” “Saya mau tambah
variabel kecerdasan emosional, jadi nanti dilihat apa hubungannya sama Lima
Disiplin Pembelajaran Organisasinya Peter Senge. Efektif nggak untuk sebuah
organisasi. Begitu Pak,”Ian berbicara cepat. “Oh... begitu..,” “Iya Pak
begitu,”.
“Kamu SD berapa tahun Yan?” tiba-tiba dosennya bertanya. “Enam Pak. Emangnya
kenapa?” “Kalo kamu menyelesaikan kuliah kamu enam tahun juga, berarti kamu
otak anak SD,”. Sang dosen bertanya lagi, “Dua bulan lagi ada sidang... bisa
dikejar empat bab dalam dua bulan Ian?”. Ian diem. Hmm, baik juga nih dosen
nyuruh sidang cepet-cepet. “Kalo kamu bisa, nanti saya bantu banyak.” “Nggak
tau yah Pak. Pusing juga, dua bulan empat bab, belum kuisionernya.” “Cuma kamu
saja anak bimbingan saya yang lama... lainnya Cuma satu semester. Kamu udah
bikin rekor nggak enak buat saya.” “Iya nih Pak.. Saya nggak enak, saya juga
dulu milih Bapak biar selesai satu semester, tapi kalo dua bulan empat bab
pusing juga, Pak,” jawab Ian. “Bisa.. “. nggak? Dosen Ian menghardik galak.
“Bisa deh Pak,” Ian jadi takut. “Bagus... sekarang taruh kata bisa itu disini,”
dosen Ian berkata sambil menunjuk ke jidatnya.
“Iya, Pak. Makasih, Pak.” “Kapan kamu
nyerahin bab duanya?” “Minggu depan, Pak.” “Enggak boleh empat hari lagi kamu
ke sini... bab dua kamu harus sudah selesai... ngerti.” “Hah???” Ian bengong.
“Masa empat hari, Pak?” “Kamu SD berapa tahun, Yan?” “Iya, iya deh Pak,” Ian
nggak mau denger kata-kata nyakitin lagi dari dosennya. “Ya udah sana...
selamat sore Ian.” “Sssore pak.” Ian membereskan berkas-berkas skripsinya dan
pergi menjauh dari ruangan dosennya.
Bagian Ketiga
Sesampainya di
rumah Ian langsung menuju komputernya yang ia namakan “Si
kompibaiksekalitemenIan” untuk menyelesaikan skripsinya yang sempat tertunda.
Ian yang sedang intelek sedikit gara-gara harus bikin skripsi, langsung
mengganti gambar desktop yang semula bergambar Sir Alex Ferguson dengan
gambar wisuda kampus megah milik kakaknya yang kebetulan udah lulus dan satu
kampus sama Ian.
Setelah
mengerjakan bab I, keesokan harinya Ian menemui dosennya untuk menyerahkan bab
II. Ian pun bergegas menemui Pak Sukonto Legowo dosen
pembimbingnya, bab II nya sudah bagus dan tidak ada revisi. Alhasil
Ian langsung disuruh melanjutkan bab III, namun Ian disarankan oleh dosennya
untuk menyebar kuisioner dulu sambil melanjutkan bab III. Ian pun semakin
senang karena sang dosen mau membantunya membuat kuisioner.
Dua
hari kemudian Ian sudah berada di kantor tempat ia melakukan penelitian untuk
menyerahkan kuisionernya. Lima hari berlalu... Ian yang sedang berkutat dengan
skripsinya mendapat tiba-tiba mendapat telepon. “Mas Dono ya? Udah selesai ya,
Mas?” “Kayaknya ada masalah Yan... Direksi nggak ngizinin kuisioner kamu,
padahal udah hampir terisi semua. Kuisionernya nggak boleh keluar dari kantor.
Data perusahaan yang ada di Ian juga disuruh tarik lagi.” “ Sori banget Yan.
Mas Dono udah coba argumen, tapi masih ditolak.” “Mas Dono bingung nih... nggak
enak dapat peringatan. Nanti malam data yang ada di Ian, Mas Dono ambil ya?”.
Ian menarik napas panjang, “Udah bener-bener nggak bisa ya Mas?” “Mas Dono udah
coba berbagai cara”. Ian percaya mas Dono orangnya baik dan memang bisa
dipercaya. “Ya udah Mas, nggak apa-apa.” “Sori banget ya, Ian.”
Waktu
seminggu untuk kuisioner lewat dalam sekejap, Ian pun patah semangat. Sejenak bayangan
teman-temannya melintas di benaknya: Genta... Zafran... Riani... Arial. Gila...
kangen banget gue sama mereka. Coba mereka ada disini. “Mas.. Jam berapa?”
tiba-tiba Ian dikagetkan oleh seorang laki-laki berpakaian kerja. “Jam enam
kurang lima.” Jawab Ian. “Makasih ya Mas. Mas ada api?” “Ada!” jawab Ian sambil
merogoh sakunya. “Rokok Mas?” “Mm... iya Mas. Makasih.” “Pulang kerja Mas?”
“Yo’i” jawab jawab lelaki berkemeja itu. “Kerja dimana?” “Disana tuh
gedungnya...,” “Bagian apa mas?” “HRD”.
Mata Ian membeliak, sepancar wajah
cerah terpancar. “Wah kebetulan nih. Saya lagi bikin skripsi tentang HRD, tapi
mau bagi kuisionernya nggak ada yang mau nerima. Mas mau nggak?” “Boleh gue
liat?” “Ini Mas, kuisionernya.” “Lho? ini kan yang lagi diteliti tim gue di
kantor. Wah, bagus-bagus nih pertanyaannya... pas banget nih... gue sebarin di
kantor gue aja ya... oke?” “Tapi yang cepet ya Mas. Saya Cuma punya waktu
sebulan lebih dikit lagi... seminggu aja ya, Mas?” “Seminggu? Tiga hari juga
kelar.”
Benar
saja tiga hari kemudian Ian mendapatkan kuisionernya sudah terisi lengkap,
kemudian Ian melanjutkan skripsinya hingga selesai. Hingga akhirnya waktu
sidang tiba... “Kira-kira 10 menit lagi giliran gue.” Ian pun mempresentasikan
tugas akhirnya dihadapan para penguji.
Jakarta menunggu sore. “Adrian
Adriano...” “A!!!” “Yes!” Ian bersorak gembira ketika nama dan hasil sidang
diumumkan. Dan akhirnyaaaa.. Ian lulus. Ian juga tidak lupa berterima kasih
kepada dosen pembimbingnya.
**
7 Agustus pukul 09.00.. Arial
mengirim SMS kepada teman-temannya.
Selamat
pagi semuanya gw kangeeeen bgt sama kalian semua, sumpah! Tgl 14 nanti kita
ketemu di stasiun kereta api senen jam 2 siang. Trus kalo ada acara dari 14-20
Agustus lo batalin dulu yaa. Please... ini yg harus dibawa kalo gak ada minjem
ya. Kan ada waktu seminggu: Carrier. Bajuanget yg banyak. Senter dan batere.
Makanan dan snack buat 4 hari... kacamata item. Betadine, obat sendal sepatu.
Kalo bisa mulai hari ini olahraga kecil-kecilan, apalagi buat Ian. Gitu aja ya.
Sampai ketemu di stasiun senen jam 2. Genta yg lagi kangen.
Send to many
Zafran,
Riani, Ian dan Arial yang mendapat SMS dari genta kaget bercampur senang, saat
mereka melihat kalender mereka sadar bahwa sekarang tanggal 07 Agustus dan
seminggu lagi mereka akan bertemu. Mereka semua sudah sangat rindu satu sama
lain dan akhirya mereka akan bertemu pada tanggal 14 Agustus di Stasiun Senen.
14 Agustus. Satu lebih tiga puluh
lima menit.
Siang
itu daerah Senen panas sekali. Di Stasiun Senen Genta sedang menkmati makan
siang di salah satu restoran padang. Tiba-tiba sosok Zafran terlihat oleh
Genta. “Jupleeeee!!!” Genta berteriak. “Halo Ta,” Zafran cekikikan senang
menyalami Genta. “Juple... gila ancur lo. Kangen gua sama lo, sama
anak-anak...”. “Genta!!!” “Zafran!!!” teriakan Ian dan Riani membuat Genta dan
Zafran tengak-tengok. “Ian...!” “Riani...!” Ian dan Riani berlari kecil
memasuki restoran padang. Riani langsung memeluk Genta dan Zafran. “Kangen...
kangen... jahat... jahat, kangen banget gue... kangen,”.
“Hercules
Gilaaaa...!!!” Zafran teriak. Sosok Arial memasuki restoran. “Arial...!” Riani
berdiri dan memeluk badan gede itu. “Genta... wah lo emang gila,” kata Arial.
“Halo men!” jawab Genta. “Juple!” “Apa kabar lo men?” tanya Zafran. “Baik, gue
mau cerita banyak nanti.” “Masa gue bisa kangen banget sama Rambo gila ini,”
cetus Ian. Arial menatap satu-satu temannya dan beujar, “Eh... oh iya, gue
ngajak seseorang buat ikut kita. Abisnya dia pengen banget ikut.” “Lho mana
orangnya?” semuanya penasaran. “Si Dinda gue ajak...” “Asik... dong! gue nggak
cewek sendiri,” Riani menyambut Arinda. “Halo semuanya... udah lama nggak
ketemu ya!” “Halo Dinda apa kabar?” semuanya menyapa Dinda. “Halo Bang Zafran.”
“Eh Dinda ikut?” “Iya...”. Riani tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang dari
tadi sudah ditunggu-tunggu, “Kita sebenarnya mau ke mana sih?”.
Pukul setengah tiga lebih, mereka
berenam berangkat dari Stasiun Senen. Mereka berangkat menaiki kereta ekonomi
MATARMAJA yang entah sudah berapa tahun melayani trayek Malang-Jakarta. Dan
akhirnya kereta pun mulai berjalan perlaha meninggalkan Stasiun Senen...
“Ta, kapan terkahir lo ke sana?” “Tiga tahun yang lalu, Ple. Bulan
Agustus juga” “Kalo bulan Agustus rame banget ya di sana?” tanya
Dinda. “Rame sih, tapi nggak rame banget.” “Kenapa Agustus?” “Kan tiap tujuh
belasan ada upacara di puncaknya,” Arial menjawab pertanyaan Dinda. “Mas Ial
kan belum pernah kesana.” “Diceritain Genta” “Berapa meter tingginya, Ta?”
“3676 m dari permukaan laut....” “Busyet, tinggi juga ya,” Zafran kaget
sendiri. “Tinggi banget...” Riani bengong, “Medannya berat nggak, Ta?” “Ya
lumayanlah.” “Kuat apa kita? Bawa paus lagi?” Zafran bercanda sambil menendang
Ian. “Iya Ta, gue kuat nggak Ta?” tanya Ian pasrah. Nggak tau ya, kayanya sih
nggak. Makannya lo gue suruh lari pagi dulu seminggu sebelumnya. Lari pagi
nggak lo?” “Lari!” “Setiap hari? Hebat juga lo!” “Enggak! Sehari doang” “Dasar
paus!”.
“Dari dulu gue pengen banget ke sana”
kata Arial. “Cuma di puncak sana aja yang ada upacara tujuh belasan-nya?” Riani
bertanya lagi. “Enggak lah kalo kita jeli, hampir tiap puncak di Indonesia,
tiap tujuh belasan pasti ada yang naik untuk upacara. Pers aja jarang
merhatiin, padahal keren kalo dibuat liputan,” Genta berkata pelan. “Wah bagus
tuh buattrip report gue,” kata Riani. “Kalo kita nanti sampai di
puncaknya, berarti kita berada di tanah paling tinggi di Pulau Jawa.” Genta
menatap tajam ke teman-temannya. “Oh jadi jadi puncak yang paling tinggi di
Jawa. Ta...” “Iya, Yan.” “Nama puncaknya apa Ta?” “Mahameru”.
Setelah menempuh perjalanan yang
panjang dari Jakarta ke Malang, pukul setengah tiga lebih mereka akhirnya tiba
di Stasiun Malang.
“Abis
ini kita kemana Ta?” Arial bertanya. “Gue lagi bingung nih... harusnya kita ke
stasiun bus Arjosari dulu, terus naik angkutan ke Tumpang.” “Tumpang itu daerah
mana?” “Tumpang itu kalo dari Malang gerbang masuknya TNBTS.” “Apa tuh?
Singkatan? Zafran bertanya. “Oh iya sori... Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru”. Lalu Genta dan Arial pergi keluar stasiun untuk mencari carteran
angkot. Sepuluh menit kemudian Genta dan Arial datang. “Dapet?” Arinda langsung
bertanya. “Dapet! Siip, murah lagi.” “Ayo... berangkat!”. Dan mereka semua bernangkat
menuju Tumpang dengan menggunakan angkot.
Matahari
sore masih tersisa sedikit, sore itu di Tumpang banyak sekali kesibukan.
Jip-jip menunggu pendaki yang mulai berdatangan. Karena jalan yang akan
ditempuh bukan jalan biasa lagi dan agak menanjak, maka mereka harus menaiki
jip untuk sampai ke atas. Rombongan ini pun berjalan ke arah jip yang telah
ditunjuk Genta, dan mereka bersiap untuk menempuh perjalanan kembali.
Dan akhirnya... mereka sampai di kaki
Mahameru. “Ta...” “Iya Yan.” “Nanti kita akan ke sana? Berdiri di puncak itu?
Berdiri di sana?” “Iya...” “Tinggi banget, Ta...” “Iya.” “Bisa apa kita, Ta?”
“Yakin kita bisa?” Genta menoleh kepada teman-temannya dan menatap
satu-persatu. “Gue udah taruh puncak itu dan kita semua ada d sisni.” Arial
berkata pelan sambil menunjuk jari ke keningnya. Genta tersenyum. “Kalo
begitu... yang kita perlu sekarang Cuma kaki yang akan berjalan leih jauh dari
biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan
menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas,
lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja.”
“Dan hati yang akan bekerja lebih
keras dari biasanya,” sambung Zafran.
“Serta mulut yang akan selalu
berdoa,” Dinda tersenyum manis.
Setuju!!!
**
Malam
sudah datang menyapa mereka saat menjejakkan kaki di tanah Ranu Pane. Udara di
bawah lima belas derajat Celcius menyambut mereka di Ranu Pane. Keenam sahabat
ini pun bermalam di Ranu Pane dengan mendirikan tenda untuk tidur. Kemudian
mereka membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh dan mereka beristirahat di
dalam tenda. Pada pukul 05.00 mereka semua bangun dan bergegas untuk mulai
mendaki gunung. “Siap semua?” Genta memegang kedua tali carrier dan menatap
teman-temannya. “Berangkat!”
Mereka
mulai melangkah, menyusuri jalan berbatu desa yang akhirnya berbelok ke jalan
setapak kecil menuju ke punggung Mahameru. Sudah satu jam lebih mereka berjalan
tanpa henti. “Genta...break, Ta. Hehh... hehh...,” napas Riani
memacu satu-satu. “Iya Bang Genta, break dulu.” Keringat
meluncur deras di kening Arinda.”Oke sip. Itu di depan ada pohon. Kita break di
situ”. Setelah beristirahat sejenak, mereka pun melanjutkan perjalanannya.
Perjalanan berlanjut menembus-mendaki pinggir hutan punggung Mahameru. Dari
ketinggian pinggiran lereng hutan Mahameru, Ranu Kumbolo perlahan muncul
seperti tetesan air raksasa yang jatuh dari langit dan membesar di depan
mereka.
Sesampainya
di Ranu Kumbolo, mereka beristirahat dan membuat makan siang. Udara Ranu
Kumbolo tiba-tiba berubah dingin, menemani mereka makan siang di sekeliling
danau dengan beberapa batang pohon terjulur di atas danau. Setelah mengahbiskan
makan siang dan bercakap-cakap, Pukul tiga kurang lima mereka bersiap untuk melanjutkan
perjalanan. Zafran dan Genta melipat terpal, Arial dan Ian membereskan kompor
parafin, Riani dan Dinda membereskan sisa-sisa makan siang. “Ta...” “Iya, Yan.”
“Berapa lama lagi kita jalan?” “Kalo sampai puncak ya masih setengah hari
lagi...tapi nanti malam kita ngecamp dulu Arcopodo.” “Masih jauh banget ya?”
“Masih... jauh, nggak pakai banget.” “Siap?” sebentar mereka menatap Ranu
Kumbolo yang tenang selepas siang. Kemudian mereka kembali melanjutkan
perjalanan. “Berdoa dulu.” Semuanya tertunduk, memjamkan mata. “Yuk....”
Mereka
mulai melangkah lagi, mulai berjalan meninggalkan Ranu Kumbolo. Rombongan itu
langsung disambut oleh sebuah bukit tinggi dengan jalan setapak yang menanjak
curam membelah kumpulan ilalang liar yang tumbuh di badan bukit. “Gilee tinggi
juga ya...” “Agak curam” “Tanjakan cinta.” “Apaan Ta?” “Banyak yang menyebut
bukit ini tanjakan cinta.” “Hahaha... Kenapa Ta?” “Itu liat aja, Ple. Kalo dari
jauh bentuknya kayak lambang cinta.” “Iya juga sih.” Genta meneruskan, “Ada
lagi mitos satu yang mengatakan kalo kita terus mendaki tanpa melihat ke bawah
lagi maka segala mimpi tentang cinta kita akan terwujud.” “Hah yang bener?”
mata Ian dan Zafran berbinar-binar. “Iya, tapi ada satu lagi syaratnya. Selama
kita mendaki harus terus mikirin orang yang kita mau itu.” Ian dan Zafran pun
kegirangan dan mendaki sambil menyebut-nyebut orang yang mereka suka. Mereka
terus melangkah sambil berpikir keras. Ian memikirkan Happy Salma dan Zafran
melakukan hal yang sama, siapa lagi yang dipikirin kalo bukan Dinda.
“Fiuh,
fiuh, fiuh.” Atur napas satu-satu. “Capek juga ya Ple.” “Iya makannya jangan
cepet-cepet. Santai aja.” “Gilaa... berat juga mencari cinta. “Juplee!!...
Ndut!!! Wooy!!!” “Iya Taa...” Ian dan Zafran refleks menengok ke bawah. “Apa
Ta?” “Sampai ketemu di atas bukit ya...,” Genta berteriak lantang. Arial, Riani
dan Dinda tertawa terbahak-bahak, sementara Genta yang masih bingung bertanay
“Kenapasih?” “Wooy kenapa?”. Arial yang masih tertawa coba memberitahu Genta. “Hahaha...gara-gara
lo panggil, mereka berdua nengok ke bawahkan? Padahal kalo mau keinginannya
tercapai kan nggak boleh nengok ke bawah... hahaha...”. “HAHAHA...,” tawa Genta
meledak keras. “Gue... gue... enggak sengaja. Sumpah! Hahaha... ancur... Gue emang
mau manggil mereka berdua, sumpah nggak sengaja.” Ian dan Zafran terduduk lemas
di atas. Alhasil mereka pun kesal dan menyalahkan satu sama lain.
Tak
terasa langkah mereka semakin berat kelelahan, mereka berada di ujung pinggiran
bukit, di depan tampaklembah kecil menganga seperti bekas sungai yang tak
berair. Pasir dimana-mana, pohon-pohon mati tampak melintang di jurang dalam
seperti bekas sungai tersebut. “Ih, tempat apa ini?” “Serem banget...” “Kita
di... Kalimati.” “Di Kalimati, dari sini kita bisa ngerasain Mahameru bergetar
dan ngeluarin hujan... hujan abu?” Genta memejamkan matanya dan mengambil
kacamata.
Udara
menjelang maghrib menyapu mereka. Rombongan itu melangkah lagi, naik k tebing
Kalimati dan memasuki hutan cemara yang sudah mulai menggelap. Mereka terus
berjalan melewati dalam hutan, keluar melewati sebuah padang ilalang kecil.
Malam pun segera datang menyambut. Sampai akhirnya mereka sampai di Arcopodo,
sebuah bukit yang akan dijadikan tempat nge-camp atau bermalam
disana.
“Ki... ki... ta u... u... dah ting..
gi ba... nget ya...” “Udah di tiga ribu meter.” Genta mengangguk. “Makannya
udah tipis udaranya, mulai susah napas.” Zafran menyalakan api unggun. “Rebus
aja air yang banyak, bikin teh manis untuk nanyi malam.” “Nanti malam memang
ada apa?” “Nanti malam kita naik... ke Mahameru.” “Jam berapa?” “Sekarang jam
berapa?” “Jam delapan kurang sepuluh.” “Berarti kita udah harus tidur sebelum
jam sembilan... nggak ada yang ngobrol-ngobrol lagi, semuanya tidur.” “Kita
punya waktu istirahat lim jam lebih. Kita nanti bangun jam setengah tiga dan
langsung naik... Kita harus istirahat supaya bisa sampai ke puncak.” Setelah
menghabiskan makan malam, mereka pun mulai memasuki tenda untuk
beristirahat.
Pukul
02.30 malam, rombongan itu berdiri di depan tenda. Keenam anak manusia itu
tertegun melihat Mahameru dalam gelap. Semua berkumpul membentuk lingkaran
kecil, tangan mereka saling berangkulan. Semuanya menunduk terdiam. Suara desis
doa terdengar sayup-sayup , mata mereka sedikit memburam. “Berangkat..!”
Rombongan mulai bergerak, berjalan melewati hutan cemara yang gelap dan terus
melanjutkan perjalanan mereka di antara dinginnya angin malam...
**
Arcopodo Mahameru. Tujuh Belas
Agustus. Tanah Air ini.
This world is for those who want to
fight
Sehabis
tertunduk, mereka mendongak ke atas. Puncak Mahameru seperti sebuah gundukan
pasir mahabesar dengan tebaran batu karang gunung di mana-mana. “Ada yang ingat
janji kita waktu di jip? Apa yang kita perlu untuk sampai ke puncak?” “Masih”
“Masih”
“Apa?” “Yang
kita perlu sekarang Cuma kaki yang akan berjalan leih jauh dari biasanya,
tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap
lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan
tekad yang seribu kali lebih keras dari baja.”
“Dan hati yang akan bekerja lebih
keras dari biasanya....”
“Serta mulut yang akan selalu
berdoa....”
Mereka pun tertunduk melihat satu
sama lain, “Mahameru kita datang!”
“Dari
sana dimulai pendakian.” Genta menunjuk ke sebuah jalan kecil seperti jembatan
yang menyembul di antara jurang dalam di kanan dan kirinya. “Kita harus
menyeberang jalan itu... hati-hati ya.” Semuanya berpegangan erat di rantai,
sampai akhirnya mereka semua sampai di ujung penyeberangan. “Selanjutnya
vertikal...,” Arial melihat ke atas, gundukan pasir dan batu gunung sekarang
berada di depannya. Jalan setapak tinggi berpasir itulah yang harus mereka
taklukan. “Hati-hati ya... semuanya”.
Saat
sedang mendaki tiba-tiba sebuah teriakan dari atas mengejutkan mereka , “Batu,
batu... awas!!!” “Rocks!!!” beberapa batu kecil dan besar seukuran
genggaman tangan jatuh dari jalur pendakian. Semua pendaki mejatuhkan badannya
ke samping. Buk... buk... gruduk. Genta tercekat. Dia lupa bilang
tentang hal ini. “Sori, emang nantinya banyak batu yang jatuh dari atas selama
pendakian. Hati-hati ya...” “Nggak bilang lo,” Zafran tampak terengah-engah.
“Sori banget lupa... Kalo denger kata ‘batu’ atau ‘rocks’ langsung aja nengok
ke atas, liat batunya jatuh ke mana terus mencoba menghindar, tapi jangan
panik. Begitu juga kalo kita yang bikin batu itu terkepas atau jatuh. Kita
harus teriak supaya yang di bawah denger dan nggak kena batu. Oke?”
Bagian Keempat
Di
dalam pendakian tiba-tiba Arial meminta break. Dia tampak kedinginan, lalu
Riani memberikan minum dan kelima temannya langsung mendekati Arial agar dia
terasa hangat. “Udah berapa jauh, Ta?” “Hampir setengah.” “Masih setengah
lagi?” “Liat aja itu puncaknya. Kita udah hampir setengah, liat udah hampir
subuh...,” Ian menatap ke atas. “Gimana Rambo?” Arial masih menggeleng,
sendinya terasa pegal. Udara dingin terus menusuk-nusuk. “Pakai jaket gue nih.”
Ian memberikan jaketnya. “Lo gimana?” “Gue lapis lima.” “Inget lo kedinginan
bukan kecapekan ya. Lo pasti bisa ke puncak.” “Tambah lagi nih,” Zafran melepas
sweaternya. Arial yang sudah hampir tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan ke
puncak, tiba-tiba berdiri lagi setelah mendapatkan dorongan semangat dari
kelima temannya. Dan mereka pun kembali mendaki.
Hujan abu turun lagi. Bertambah
deras, dan menimbulkan gemeletak-gemeletak menyeramkan. "Gue di depan ya,
Ta...” Arial tampak semangat. “OK Bos!”
Malam
mulai beranjak pergi, dan udara pagi mulai menyapa mereka. “Break!” Arial
berteriak keras. Mereka berenam melepas lelah, udara hangat mulai menyapa.
Puncak Mahameru mulai terlihat terang. “Kita di ataas awan... kita di atas
awan...” “Keren banget.” “Iya, ini yang pernah gue bilang. Samudra menyentuh
langit.” “Subhanallah...” “Keren banget.” Di antara lelah tak terhingga, mereka
mengucap syukur dan terima kasih. Kembali keajaiban Mahameru menyapa
mereka.
Matahari
pagi tujuh belas Agustus pun terbit, sinar matahari yang hangat menyapa
badandingin mereka. “Yuk naik lagi, tinggal sedikit lagi...” “Tinggal
seperempat jalan lagi kayaknya.” “Betul!” mereka kembali mendaki. Kali ini
udara lebih hangat membuat mereka semakin semangat mendaki. Brug! Teriakan
panik terdengar dari atas. “Awas!!! Yang dibawah awas..!” Brug brrbklutuk
lklutuk....
“Batu!!!” “Awas...!!!” Puluhan batu
sebesar ukuran kepala manusia tampak berjatuhan dari atas mereka. Semua
berusaha menghindar ke samping, mencoba mencari perlindungan di bawah batu yang
lebih besar. Brug... brug... brug... “Awas! Awas! Batu!” Para pendaki yang
berada di jalur pendakian beretriak sekuat tenaga. Genta panik melihat
banyaknya batu yang datang, bayang-bayang teman-temannya tampak menghindar
kesana kemari.
Hujan
batu dan pasir masih belum selesai. Gemuruh. Riuh. Lalu... keheningan memnuhi
jalur pendakian. Genta segera berdiri mencari kelima temannya, Ian dan Dinda
tampak tergeletak, menelungkup. Riani tiba-tiba muncul di depannya dengan muka
penuh pasir. “Ni... Ni... nggak pa-pa kan?” Riani menggeleng dalam diam. Genta
menarik napas lega. Zafran terlihat menggeliat dari bawah tumpukkan batu besar
dan menganggukan kepalanya untuk memberi tanda kepada Genta. Arial duduk dan
menggoyangkan tubuh adiknya yang masih tengkurap tanpa gerakan. Di sebelahnya
Ian dengan posisi yang sama.
“Ian...
Ian...” Ian masih terpejam. Semuanya tercekat melihat Ian masih tergeletak,
Dinda akhirnya sadar dan berkata pelan, terputus-putus, “I... i... i... an...
Ian a... ada... ba... ba... tu yang ke... ke... na ke... ke... palanya...”
Dinda langsung berdiri dan mencari Ian. “Ian... Ian... Ian bangun, Yan!” “Please bangun,
Yan!” “Ian, Ian!!!” Zafran Riani dan Dinda menangis melihat Ian yang masih tak
sadar. Ian... Ian... bangun.. Ian, please...”
Riani,
Arial, Dinda dan Zafran berlari memeluk Genta. “Ta, Ian, Ta...” “Ian...” mata
mereka tak lepas memandang tubuh Ian yang masih tanpa gerakan sedikit pun. “Ian
janganpergi, Yan! Ian jangan pergi, Yan... Ian jangan pergi dulu...!!! Elo kan
mau wisuda, Yan.. jangan Yan, jangan... maafin gue, Yan... gue banyak salah...”
“Ian... nggak... boleh... pergi.” Genta kembali menangis.
“...IAAAAAAAAAANNNNNNNN!!!” Zafran berteriak keras ke langit. “Puih... puih...
kenapa lo, Ple? Bikin kaget aja... teriak-teriak. Puih... puih... pasir nggak
enak ya, Ple... Puih nggak lagi-lagi deh gue makan pasir. Nggak enak.”
“YEAAAAAH!!!”
suara sorakan gembira memenuhi jalur pendakian Mahameru... semuanya terlihat
lega. “YES!!!... YES!!!... YES!!!” Setelah Ian sadar, mereka berenam
kembali melanjutkan perjalanan mereka. Ian dan Zafran terus mendaki, kali
ini mereka tambah bersemangat setelah melihat bendera merah putih yang dibawa
oleh seorang mahasiswa yang memakai jaket almamater.
“This is it... the end... of our
journey...” Genta berehenti sebentar diantara dua buah batu besar. Jalur
pendakian tampak berhenti disitu. Mereka masih belum sampai puncak, pemandangan
puncak Mahameru masih tertutup gundukan tanah kecil di depan mereka.
“Hanya beberapa langakah lagi... kita
sampai di pucak...”
“Hold my hand please...” Riani
tersenyum menggandeng tanagn Dinda dibelakangnya, Dinda memegang tangan Ian,
Zafran dan Arial terus menyambung genggaman itu.
“Siaaap?” Genta tersenyum lepas...
semuanya memandang satu sama lain. Setengah berlari mereka bergandengan
memasuki jalur akhir pendakian yang tinggal sepuluh meter lagi.
Tujuh meter....
Lima meter....
Tiga meter....
...!!!!
“Dan.... kita di Mahameru....”
Akhirnya mereka berhasil mencapai puncak Mahameru untuk mengibarkan Sang Saka
merah putih dan melakukan upacara 17 Agustus di atas puncak Mahameru.
Tujuh belas Agustus. Setengah delapan
malam.
Wajah-wajah
penuh ceria di antara nyala api unggun terlihat jelas di tanah surga Mahameru.
Keenam sahabat itu asik bercengkerama di tengah udara dingin Ranu Kumbolo.
Setelah selesai bercengkerama, satu-satu mereka masuk ke dalam tenda. Genta dan
Riani masih ingin menikmati malam yang indah di Ranu Kumbolo. Mereka berdua
duduk berdekatan di depan api unggun. “Thanks ya, Ta, buat ini semua.” Genta
mengangguk, matanya memandangi api unggun. “Kita sering banget berduaan begini
ya, Ta?” “Iya...” “Seperti bapak sama ibunya anak-anak. Yang lain udah pada
tidur, kita masih sering ngobrol berdua,” ujar Riani lembut. Genta menarik
napas panjang, mengumpulkn keberaniannya. Genta menoleh ke tenda tempat
teman-temannya tertidur lelap.
“Riani...” Dan... kata-kata tumpah saat itu juga, penih dengan ciptan-ciptaan
keindahan argumen lembut mengalir deras. Riani yang semenjak tadi
mendengarkan,menoleh lembut ke Genta, matanya berkaca-kaca, tangan lembutnya
memegang erat Genta. “Terima kasih, Ta” “Tapi... bukan... kamu, Ta.” Genta
seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Riani. “Dia... Zafran, Ta.”
Genta tersenyum lembut, kekcewaannya luluh melihat kekuatan Riani.
**
Sepuluh tahun kemudian
Minggu pagi di Secret Garden.
“Arian!!! Jangan cabut tanaman...
papa nggak suka...” Arial menggendong buah hatinya yang berumur lima tahun.
Keluarga besar itu berkumpul di bungalow secret garden. Riani dan Dinda
memejamkan matanya, sekarang mereka menjadi seorang ibu. Bungalow secret garden
hari itu penuh dengan doa, mimpi, dan keyakinan tulus di hati anak manusia.
Semuanya saling pandang dan tersenyum hangat satu sama lain.
SELESAI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar